Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Republik Indonesia
sedang membahas setidaknya dua persoalan di daerah, yaitu terkait
pembangunan smelter milik PT. Freeport di Tembagapura, Mimika, Papua dan
PT. Newmont di pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).
“Terkait dengan dua perusahaan raksasa yang saat ini kami sedang
bahas persoalan pembangunan smelter, kami setuju dengan aspirasi yang
diperjuangkan pemerintah Provinsi Papua. Bahwa pembangunan smelter harus
di Papua dan bukan di luar Papua,” kata Wakil Ketua DPD RI, Prof DR
Farouk Muhammad di Kota Jayapura belum lama ini.
Karena itu, DPD akan melakukan pertemuan dengan Mentri Koordinator
Perekonomian, Sofyan Jalil di Jakarta pekan depan, 10 Februari atau 11
Februari.
“Tentunya kami akan mendorong agar pembangunan smelter PT. Freeport Indonesia dilakukan di Papua, bukan di Amerika,” ujarnya.
Jika pembangunan smelter di luar Papua, maka akan berdampak pada
pendapatan daerah dan lapangan kerja. Pembangunan smelter di Papua
dinilai bakal menambah pendapatan asli daerah untuk Provinsi Papua
sendiri dan juga menyerap tenaga kerja bagi putra/i asli Papua.
Pengelolaan sumber daya alam (SDA) di Papua harus berorientasi pada
kepentingan masyarakat dan kepentingan nasional sesuai dengan amanta UUD
1945 pasal 33 ayat 1 dan 2. karena segala bentuk eksploitasi dan
memanfaatkan SDA harus sebagian besar harus dilakukan oleh Sumber Daya
Manusia (SDM) lokal dan aset kepemilikan nasional. Sehingga berkaitan
denga perpanjangan kontrak karya PT Freeport Indonesia harus sepenuhnya
memperhatikan aspirasi dan kehendak terbaik masyarakat Papua.
Tutup PT. Freeport
Ribuan mahasiswa Papua di Jawa dan Bali yang tergabung dalam Forum
Peduli Keadilan Tanah Papua (FPKTP) menggelar demonstrasi di depan
gedung Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Rabu,
(4/2/15). Mereka menuntut agar PT. Freeport Indonesia di Papua segera
ditutup.
Selain itu, mereka juga mendesak agar menutup perusahaan lainnya di Papua dan penentuan nasib sendiri bagi Papua.
“Kami tuntut Freeport dan sejumlah perusahan asing yang ada di tanah
Papua ditutup, karena tidak memberikan manfaat bagi orang Papua selama
ini. Hanya pembunuhan, penganiayaan, perampasan tanah adat yang ada,”
kata Juru Bicara FPKTP, Wenas Kobogau seperti dilansir majalahselangkah.com, Rabu.
Menurut Wenas, perusahaan justru merugikan masyarakat adat demi
mengeruk keuntungan. Sementara di sisi lain, pemerintah terkesan ‘masa
bodoh’ terhadap perusahaan raksasa yang mengeruk emas dari tanah ulayat
masyarakat adat. Mirisnya militer malah menjadi semacam ‘anjing-anjing
penjaga’ yang melindungi eksploitasi.
“Rakyat asli Papua, pemilik tanah Papua ini yang selalu dirugikan.
Kami minta Freeport tutup. Peruhasaan-perusahaan asing tutup. Semua
militer angkat kaki dari tanah Papua. Berikan hak bagi bangsa Papua
untuk menentukan nasibnya sendiri,” kata Wenas.
Anggota DPR RI asal Papua, Willem Wandik saat menemui massa FPKTP
berjanji akan melanjutkan suara para mahasiswa dalam foum di Komisi VII.
“Saya akan berdiskusi dengan teman-teman anggota dewan yang lain
terkait tuntutan masyarakat Papua, karena itu saya akan kembali ke dalam
gedung DPR RI,” kata Wandik.
Untuk diketahui, permintaan Gubernur Provinsi Papua, Lukas Enembe
untuk membangun smelter di Papua tidak didengar oleh negara Indonesia
dan pihak PT Freeport dengan membangun smelter di Gresik, Jawa Timur.
Alasannya, kata wakil presiden RI, Jusuf Kalla, tak tersedianya listrik
di Papua.
Mahasiswa Papua menolak walau smelter dibangun di Papua, karena
Freeport, perusahaan lain di Papua, militer Indonesia dituduh menjadi
dalang kejahatan terhadap kemanusiaan di tanah Papua.
“Tuntutan kami tetap, Freeport dan semua perusahaan lain di tanah Papua angkat kami, dan kami ingin kemerdekaan bangsa Papua.”
Sumber: http://suluhpapua.com/
Posting Komentar
Silahkan Tinggalkan Komentarnya sesuai dengan isi berita yang anda lihat dan baca..?